Transnusi.com Makassar — Penyidikan kasus kematian mahasiswa Fakultas Teknik (FT) Jurusan Arsitektur Universitas Hasanuddin (Unhas), Virendy Marjefy Wehantouw (19) yang meninggal dunia secara tragis dan penuh misteri pada 13 Januari 2023 saat mengikuti kegiatan Pendidikan Dasar (Diksar) dan Orientasi Medan (Ormed) XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas, hingga kini masih berproses di Kepolisian Resor (Polres Maros) dan belum mampu diungkap tuntas serta terang benderang terhadap motif sesungguhnya dibalik peristiwa memilukan itu.
Kuasa hukum keluarga almarhum Virendy, Yodi Kristianto, SH, MH ketika dihubungi media ini, Senin (03/07/2023) menjelaskan, meski penyidik Satreskrim Polres Maros telah memeriksa puluhan saksi dan menetapkan hanya 2 (dua) tersangka yakni Ketua UKM Mapala 09 FT Unhas Ibrahim bersama Ketua Panitia Diksar & Ormed XXVII Farhan, serta melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Maros yang kemudian mengembalikan lagi, namun kliennya tidak merasa puas dan berkeras meminta kepada aparat penegak hukum Polda Sulsel untuk melakukan gelar perkara khusus.
Penyebabnya, menurut pengacara muda itu, selain menilai tidak profesionalnya penyidik Satreskrim Polres Maros dalam bekerja menangani perkara yang menarik perhatian publik ini hingga penetapan tersangka dan penerapan pasal pidana yang sangat kontroversial maupun tak ditahannya kedua tersangka, keluarga almarhum Virendy juga mempersoalkan terkait tidak diseretnya sejumlah pejabat di jajaran Unhas selaku institusi yang paling bertanggungjawab atas peristiwa kematian mahasiswanya.
Diungkapkan Yodi, pihak Unhas secara kelembagaan dan khususnya Rektor Prof Jamaluddin Jompa sejak peristiwa kematian Virendy dinilai tak punya sedikitpun rasa kemanusiaan, empati dan kepedulian serta berupaya melepaskan tanggungjawab dari peristiwa ini dengan mengumbarkan pernyataan-pernyataan tidak sesuai fakta di berbagai media yang terkesan hanya pencitraan belaka sebagai upaya menggiring opini publik dalam menjaga nama baik perguruan tinggi negeri tersebut.
“Tapi anehnya saat pihak kepolisian sudah menetapkan 2 (dua) mahasiswa sebagai tersangka, sikap terkesan arogan yang selama ini ditunjukkan Rektor Unhas dalam menyikapi peristiwa kematian Virendy, belakangan tiba-tiba berubah drastis. Orang nomor satu di kampus merah tersebut jadi kasak kusuk mencari jalan untuk bagaimana bisa berdamai dengan pihak keluarga almarhum Virendy. Akhirnya Jamaluddin Jompa meminta bantuan seseorang yang mungkin diketahuinya akrab dengan ayah almarhum Virendy,” bebernya.
Orang suruhan Rektor akhirnya bertemu dengan James Wehantouw (ayah Virendy) di Red Corner Cafe Jl. Yusuf Dg Ngawing, Makassar, Kamis (20/04/2023) malam. Dalam pertemuan itu disampaikan bahwa Rektor minta berdamai dengan bargaining pihak keluarga almarhum mencabut laporan perkara pidana yang sementara ditangani Satreskrim Polres Maros.
Untuk mekanisme awal, pihak keluarga akan dipertemukan dengan Wakil Rektor 1 Prof Muhammad Ruslin dan Dekan FT Unhas Prof Muhammad Isran Ramli.
Jika sudah bertemu dengan WR 1 dan Dekan FT Unhas serta tercapai kesepakatan untuk berdamai, selanjutnya keluarga almarhum Virendy akan dipertemukan dengan Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa untuk membahas lebih lanjut berbagai hal terkait kewajiban masing-masing pihak, seperti teknis pencabutan laporan perkara pidana di kepolisian dan menyangkut pemberian santunan maupun tuntutan ganti rugi sebagai bentuk pertanggungjawaban Unhas atas peristiwa yang telah merenggut nyawa seorang mahasiswanya.
“Ketika itu, klien kami sempat mengingatkan bahwa kasus kematian Virendy ini bukan delik aduan tetapi delik pidana murni. Namun untuk menghargai upaya mediasi yang dilakukan orang suruhan Rektor itu, klien kami bersedia dipertemukan dengan WR 1 dan Dekan FT Unhas meski dalam pertemuan nanti hanya sebatas mendengar saja dan belum dapat memberikan keputusan. Sebab apapun yang menjadi keinginan Rektor, tentunya pihak keluarga besar almarhum harus berembuk terlebih dahulu sebelum membuat keputusan yang terbaik bagi almarhum Virendy maupun semua pihak terkait,” papar Yodi.
Kendati orang suruhan Rektor Unhas ini telah memberikan gambaran tentang jadwal pertemuan bersama WR 1 dan Dekan FT Unhas sekitar 2-3 hari kedepan, namun rencana tersebut tak pernah terealisasikan dan tidak diketahui penyebabnya. “Hampir sebulan lamanya klien kami menunggu kabar, tapi orang suruhan Rektor Unhas itu tak pernah menghubungi lagi. Klien kami pun tak perduli dan terus fokus mengawal proses penyidikan kasus kematian Virendy yang sedang ditangani Satreskrim Polres Maros,” ujarnya.
Sebulan berlalu setelah pertemuan di Cafe Red Corner, tiba-tiba Rektor Unhas mengutus lagi seseorang yang kemudian diketahui teman kost Jamaluddin Jompa semasa kuliah. Orang utusan Rektor yang juga merupakan teman dekat ayah Virendy, selanjutnya menyampaikan jika Rektor telah menugaskan Direktur Hukum Unhas Prof Amir Ilyas dan Dekan FT Unhas Prof Muhammad Isran dan meminta keluarga almarhum bersama tim kuasa hukumnya berkenan menghadiri undangan pertemuan silaturahmi yang diagendakan pada Rabu (24/05/2023) malam di Rumah Makan Ali Murah Jl. Perintis Kemerdekaan, berlokasi tak jauh dari Pintu 1 Kampus Unhas Tamalanrea.
“Kembali menghargai undangan silaturahmi tersebut, kami tim kuasa hukum bersama keluarga almarhum Virendy mulai dari kedua orang tua hingga kakak-kakak dan adiknya menghadiri pertemuan yang berlangsung di salah satu Ruangan VIP Rumah Makan Ali Murah. Sementara utusan Rektor Unhas yang hadir diantaranya adalah Direktur Hukum Unhas Prof Amir Ilyas, Dekan FT Unhas Prof Muhammad Isran lengkap bersama para Wakil Dekan FT Unhas, dan Kabag Humas Unhas Ahmad Bahar,” terang Yodi.
Mengawali pertemuan silaturahmi yang diwarnai santap malam bersama tersebut, Prof Amir Ilyas berkesempatan memperkenalkan jati dirinya dan juga menyampaikan jika kehadirannya bertindak selaku pejabat Unhas yang ditugaskan mewakili Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa untuk secara kelembagaan bertemu dengan keluarga besar almarhum Virendy dan tim kuasa hukumnya, serta sebagai langkah awal dalam upaya mewujudkan perdamaian sebagaimana yang sangat diharapkan pihak Unhas.
Dalam pertemuan itu, ayah almarhum Virendy pun angkat bicara memaparkan kronologis sejak pertama kali melihat buah hatinya sudah terbujur kaku tak bernyawa dan penuh luka serta lebam di kamar jenazah Rumah Sakit Grestelina pada Sabtu (14/01/2023) pagi, hingga dibawa ke rumah duka di Perumahan Taman Telkomas untuk disemayamkan selama beberapa hari dan kemudian dimakamkan di Pekuburan Kristen Pannara, Kota Makassar pada Senin (16/01/2023) siang.
“Klien kami juga membeberkan hasil investigasi yang dilakukan pihak keluarga dalam upaya mengungkap secara terang benderang motif sesungguhnya dibalik peristiwa kematian Virendy yang hingga kini masih misterius. Mulai dari sejumlah kejanggalan yang ditemukan, kemudian proses penyidikan di kepolisian yang dinilai sangat tidak profesional serta dikesampingkannya sejumlah petunjuk maupun alat bukti yang ada,” tukas Yodi.
Menurut pengacara muda berdarah Kalimantan ini, setelah mendengar pemaparan dari ayah almarhum yang mempersoalkan pula tentang tidak diseretnya beberapa pejabat Rektorat Unhas dan Dekanat FT Unhas sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dibalik peristiwa tragis tersebut, Prof Amir Ilyas kembali angkat bicara dan secara gamblang menyampaikan permohonan maaf dan turut berdukacita yang mendalam dari Rektor Unhas dan jajarannya atas kematian Virendy, cucu dari almarhum Prof. Dr. O. J. Wehantouw, MS.
Pada kesempatan itu pula, Prof Amir Ilyas secara gamblang mengemukakan keinginan Rektor untuk berdamai dengan keluarga almarhum agar kasus ini tidak berlarut-larut memunculkan opini-opini negatif di publik yang terus mengikuti perkembangan perkara tersebut. “Jika ini tidak segera dituntaskan dan tidak ada perdamaian, maka tidak menutup kemungkinan Dekan bersama para Wakil Dekan FT Unhas dan bahkan Rektor Unhas sekalipun bisa terseret jadi tersangka karena telah lalai mengeluarkan rekomendasi dan izin kegiatan serta melepas secara resmi keberangkatan rombongan peserta Diksar dan Ormed XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas tersebut,” demikian penegasan Prof Amir Ilyas yang dikutip kembali oleh Yodi.
Diceritakan Yodi lagi, mengakhiri pertemuan silaturahmi ini, Prof Amir Ilyas meminta kepada orang tua Virendy untuk menyerahkan dan mempercayakan sepenuhnya ke tim kuasa hukum dan dirinya terkait tindak lanjut pembahasan mekanisme dan teknis perdamaian yang tidak merugikan kedua belah pihak, Unhas dan keluarga almarhum Virendy. “Karena saya dan tim kuasa hukum keluarga almarhum yang lebih memahami masalah hukum, percayakan kepada kami untuk menyelesaikan masalah ini dengan sebaik-baiknya,” tukas Prof Amir Ilyas sembari mengungkapkan jika kasus Virendy ini telah mengakibat 2 pejabat Unhas dilengserkan dari jabatannya, yakni Supratman (Kabag Humas Unhas) dan Prof Anwar Borahima (Ketua LBH Unhas) yang dianggap gagal menjalankan tugasnya.
Usai pertemuan silaturahmi di Rumah Makan Ali Murah, keesokan harinya Prof Amir Ilyas bertemu dengan Yodi Kristianto, SH, MH di sebuah kafe di kawasan BTP. Dalam pertemuan empat mata itu, Direktur Hukum Unhas ini kembali menegaskan bahwa Rektor Unhas minta laporan perkara di Polres Maros dicabut oleh pihak keluarga. Apabila laporan perkara dicabut, Rektor Unhas siap memenuhi tuntutan keluarga sebagaimana termaktub dalam surat somasi yang telah 3 kali dilayangkan tim kuasa hukum.
Pertemuan pertama yang dilakukan kedua praktisi hukum di Cafe Original Jl. Tamalanrea Raya di kawasan Perumahan BTP itu belum membuahkan kesepakatan yang diharapkan bersama. Pasalnya, awalnya Yodi menyampaikan keinginan keluarga almarhum yang bersedia berdamai dengan Rektor Unhas untuk perkara perdatanya saja dengan catatan sanggup memenuhi tuntutan dalam surat somasi, sedangkan perkara pidananya tetap berlanjut proses hukumnya.
Menanggapi hal itu, ungkap kuasa hukum, kembali Prof Amir Ilyas menyatakan bahwa Rektor Unhas menghendaki proses hukum perkara pidana maupun perdata harus dihentikan, dan mengenai salah satu poin tuntutan di surat somasi yang menyebutkan pihak Unhas wajib memberikan santunan sebesar Rp 2 milyar dinilai berat dan akan dinegosiasikan langsung kepada keluarga almarhum. Bahkan menurut Yodi, sempat terlontar ucapan dari mulut Prof Amir Ilyas bahwa, jika tidak ada kesepakatan berdamai, maka dana yang disiapkan Unhas untuk diberikan sebagai santunan kepada keluarga almarhum, akan dihamburkan saja ke institusi kepolisian dan kejaksaan.
Kendati belum tercapai kesepakatan, Prof Amir Ilyas minta diberi waktu untuk melaporkan hasil pertemuannya dengan kuasa hukum kepada Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa yang saat itu sedang berada di Amerika. Ia juga minta dipertemukan kembali dengan orang tua Virendy di pertemuan berikutnya untuk melakukan negosiasi langsung soal besaran nilai santunan. “Permintaan Prof Amir Ilyas langsung kami sampaikan ke orang tua Virendy yang kemudian bersedia untuk bertemu,” ucap Yodi.
Selanjutnya, bertempat di The Gade Cafe Jl. Tamalanrea Raya BTP, Senin (29/05/2023) siang, keluarga almarhum Virendy yang diwakili James Wehantouw (ayah) dan Viranda Wehantouw (kakak) didampingi Yodi Kristianto melakukan pertemuan dengan Prof Amir Ilyas yang pada kesempatan itu menyampaikan jika Rektor Unhas merasa berat dengan besaran nilai santunan yang tertera di surat somasi dan minta pihak keluarga menyebutkan angka yang mampu diberikan Unhas.
Menyikapi permintaan Rektor Unhas dan setelah berkoordinasi via telepon dengan saudara-saudaranya di Makassar, Jakarta dan Lampung, James Wehantouw kemudian menurunkan angka nilai santunan menjadi Rp 1,5 milyar. Mendengar hal itu, Prof Amir Ilyas menyampaikan akan segera meneruskan hasil pembicaraan dalam pertemuan ini ke Rektor Unhas dan diperkirakan dalam waktu 2 jam atau paling lambat sore nanti sudah ada jawaban dari Rektor Unhas.
Yodi mengisahkan lagi, meski ayah Virendy telah menurunkan besaran nilai santunan yang harus dipenuhi Rektor Unhas, namun rasa kecewa dan tidak puas masih menyelimuti kakak kandung almarhum, yakni Viranda Wehantouw yang spontan angkat bicara dengan nada suara agak emosional dan tampak mata berkaca-kaca. “Maaf om (Prof Amir Ilyas, Red), bagi saya pribadi tidak setuju jika harus ada lagi negosiasi terhadap besaran nilai santunan yang tertera di surat somasi. Kami ini sebagai pihak yang tersolimi dan sudah mau mengalah, tapi masih saja dilukai dengan sikap tawar menawar yang ditunjukkan Rektor Unhas. Itu sama saja kita semua memperjualbelikan nyawa adik saya,” tegasnya.
Viranda mengemukakan juga, besaran nilai santunan yang tertera di surat somasi itu sesungguhnya tidak setara dengan nyawa Virendy. “Jika mau dihitung-hitung kerugian materil yang keluarga alami, mulai biaya sejak jenazah adik saya cuma didrop begitu saja di RS Grestelina tanpa tanggung jawab pihak Unhas dan khususnya Mapala FT Unhas, kemudian beberapa hari disemayamkan di rumah duka Telkomas dan dimakamkan di Pekuburan Pannara, belum lagi keluarga yang berdatangan dari Papua, Manado, Jakarta, Lampung, Surabaya dan Balikpapan, tentunya tidak sedikit biaya-biaya yang dikeluarkan,” urainya.
Diterangkan Yodi, dengan suara meledak-ledak dan tampak menahan emosional serta kesedihan mendalam, Viranda memaparkan pula, apabila mau dihitung-hitung lagi sejak Virendy dilahirkan, dibesarkan dan disekolahkan hingga masuk kuliah di Fakultas Teknik Unhas, berapa besar biaya yang telah dikeluarkan orang tua ? “Coba Pak Rektor Unhas hitung kesemua yang saya uraikan itu. Dan kalo mau dihitung-hitung lagi, jika saja adik saya tidak meninggal dunia dan masih terus hidup serta menyelesaikan kuliahnya dan kelak jadi orang berguna bagi bangsa dan negara, mungkin lebih dari Rp 2 milyar bisa adik saya berikan untuk kami keluarganya,” tandasnya.
Pengacara Yodi Kristianto menjelaskan lagi, setelah pertemuan di The Gade Cafe BTP ini, tak ada lagi kabar dari Prof Amir Ilyas tentang keputusan Rektor Unhas soal perdamaian dan pemberian santunan. Pihak keluarga almarhum pun tetap bertekad menuntaskan dan terus mengawal kasus ini yang masih bergulir di Polres Maros. “Namun pada pertengahan Juni 2023 lalu, tiba-tiba Prof Amir Ilyas menghubungi saya dan mengabarkan jika Rektor Unhas hanya bersedia memberikan santunan sebesar Rp 50 juta. Perihal itu telah disampaikan pula oleh Prof Amir Ilyas via chat WA ke ayah Virendy,” imbuhnya.
Selain itu, ceplos Yodi, seseorang yang mengaku dosen Fakultas Hukum Unhas bernama Muhammad Zaelani pernah datang ke rumah keluarga almarhum di Telkomas. Kedatangannya saat itu hanya berbincang-bincang di pintu pagar pekarangan rumah dengan Viranda. Meski berkali-kali diajak masuk ke dalam rumah untuk berbicara langsung dengan ayahnya, tapi bersangkutan berkeras menolak dan mengatakan bahwa apa yang mau diutarakannya sangat sensitif.
Dalam pembicaraan yang direkam Viranda, Muhammad Zaelani mengajukan tawaran dari pihak Unhas terhadap 2 adik Virendy jika kelak ingin masuk kuliah di Unhas sekalipun itu pilihannya Fakultas Kedokteran akan dijamin bebas masuk dan ditanggung biaya kuliahnya sampai selesai. Namun pembicaraan tersebut tidak berlanjut setelah Viranda memberitahukan bahwa adik almarhum hanya 1 orang dan saat ini masih duduk di bangku kelas 2 SMP.
Menurut Direktur Kantor Advokat dan Konsultan Hukum YK&Partners ini, apa yang disampaikan Prof Amir Ilyas jelas membuat keluarga besar almarhum Virendy merasa terhina dan seakan diinjak-injak harga dirinya.
“Sesungguhnya nyawa Virendy tak bisa dinilai dengan uang atau materi. Pihak keluarga pun telah memutuskan untuk terus memperjuangkan hukum dan keadilan bagi almarhum Virendy sebagaimana harapan keluarga besar, teman-teman mahasiswa, lembaga-lembaga terkait, dan juga publik atau masyarakat luas yang selama ini berempati dan mengikuti perkembangan penanganan kasus ini,” pungkas Yodi Kristianto, SH, MH,