Transnusi.com Takalar — Lembaga Antikorupsi Sulawesi Selatan (Laksus) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan supervisi atas kasus dugaan korupsi tambang pasir laut Takalar. Kasus yang ditangani Kejaksaan Tinggi Sulsel ini dinilai tak punya progres konkret.
“Harus ada supervisi dari KPK. Karena kejati tidak menunjukkan progres. Kasus ini terkesan mangkrak,”. tegas Direktur Laksus Muhammad Ansar, Rabu (16/11/2022).
Menurut Ansar, kasus tambang pasir laut Takalar terlalu alot. Kasus ditangani Kejati Sulsel sejak akhir 2021. Lalu naik ke penyidikan pada Maret 2022.
Namun hingga saat ini penyidik Kejati belum menetapkan tersangka. Ansar mengatakan, rentang waktu dinaikkannya kasus ini ke tahap penyidikan dengan penetapan tersangka sudah terlalu lama.
“Maret ke November itu artinya ada rentang waktu 8 bulan. Tapi belum ada penetapan tersangka. Tentu saja ini menjadi tanda tanya besar,” tandas Ansar.
Menurut Ansar, idealnya interpal waktu 8 bulan dari Maret ke November sudah seharusnya ada kemajuan konkret. Artinya kata dia, tersangka harusnya sudah ditetapkan dan diumumkan ke publik.
“Tapi ini justru kesannya mengendap. 8 bulan setelah naik ke penyidikan harusnya ada kemajuan penanganan kasus. Ini malah kami lihat kejati tidak serius,” ketusnya.
Ansar mengatakan, Kejati seharusnya menunjukkan keseriusan. Sebab dari awal kasus tersebut sudah diatensi publik. Dan publik menuntut penanganan yang terbuka.
“Nah ini tanggung jawab moral Kejati untuk menjawab rasa keadilan publik. Kalau tidak, bisa memunculkam banyak spekulasi. Dan itu akan merusak trust kejaksaan dalam perang melawan korupsi,” tandas Ansar.
Karena itu menurut Ansar, perlu ada supervisi dari lembaga antirasuah (KPK). Lewat supervisi, KPK bisa melakukan kontrol, pengawasan dan telaah agar bisa mempercepat penyelesaiannya.
Ansar menjelaskan, dalam banyak kasus mandek, supervisi KPK terbukti efektif. Selain itu, supervisi juga merupakan amanat UU
Selain supervisi KPK, Ansar juga mendesak agar hasil audit BPK harus segera diterbitkan. Audit BPK sampai saat ini belum terbit hingga menghambat penetapan tersangka.
Supervisi Amanat UU
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) telah diimplementasikan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam perpres dijelaskan bahwa supervisi merupakan salah satu tugas pokok KPK seperti yang tercantum dalam Pasal 6 huruf D.
“Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” demikian bunyi Pasal 2 Ayat (1) Perpres tersebut.
Dalam salinan Perpres bernomor 102/2020 itu, dijelaskan bahwa KPK memiliki kewenangan melakukan supervisi terhadap kasus korupsi yang ditangani kepolisian maupun kejaksaan.
Supervisi yang dimaksud meliputi kegiatan pengawasan, penelitian, atau penelaahan kasus korupsi yang ditangani dalam rangka percepatan penanganan perkara.
Perjalanan Kasus
Seperti diketahui, setelah melakukan serangkaian pemeriksaan saksi, tim Bagian Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, meningkatkan penanganan perkara dugaan korupsi, penetapan harga jual tambang pasir laut di Kabupaten Takalar tahun 2020, dari tahap penyelidikan ke penyidikan. Kasus ini naik ke penyidikan akhir Maret lalu.
Diketahui, kasus ini diusut lantaran adanya dugaan potensi kerugian negara sebesar Rp13,5 miliar dalam penetapan harga jual tambang pasir laut di wilayah Takalar tahun 2020. Diduga, harga tambang pasir laut dijual Rp7.500 per kubik dari harga jual yang ditetapkan dalam peraturan sebesar Rp10.000 per kubik.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, turunnya nilai harga jual tambang pasir didasari oleh adanya penawaran yang dilakukan pihak penambang. Tawaran pihak penambang kemudian direspons dengan rapat bersama sejumlah pejabat Pemkab Takalar.
Tawaran pengurangan harga itu kemudian disetujui dan disepakati melalui berita acara. Belakangan, masalah pun muncul, lantaran penetapan pengurangan harga jual tambang pasir laut tersebut, disinyalir tidak memiliki dasar regulasi yang kuat.
Dan kebijakan itu, dianggap oleh aparat penegak hukum, sebagai langkah yang berpotensi merugikan keuangan negara yang cukup besar.
Sumber : Ketua LSM Laksus
Laporan : Haeruddin